IMPLEMENTASI GERAKAN BERBUSANA ISLAMI DI UNISSULA
Waktu Pelaksanaan : 22 March 2024 - 22 March 2024
Sebagai salah satu kampus swasta terkemuka di Jawa Tengah dan Unggul di Indonesia, UNISSULA telah sekian lama berkomitmen terhadap pelaksanaan nilai-nilai Islam di lingkungan kampus UNISSULA. Gerakan Budaya Akademik Islami atau yang lebih dikenal dengan BUDAI, sejak awal tahun 2000an telah diimplementasikan dalam penguatan ruh ibadah dan akhlak melalui beberapa gerakan antara lain shalat berjamaah, thaharah, busana Islami, keteladanan akhlak mulia dan pergaulan putra-putri. Berbusana Islami yang ideal tidak hanya bertujuan agar berpenampilan modis dan sesuai tren, namun di dalam pelaksanaannya terdapat nilai-nilai ibadah dalam bentuk menutup aurat. Aurat adalah salah satu konsep penting dalam Islam yang berkaitan dengan penutupan bagian tubuh tertentu dan kesopanan. Istilah ini mengacu pada bagian tubuh yang harus ditutupi oleh seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan ajaran agama.
Perintah Berbusana Islami
Aurat secara bahasa berarti kekurangan, sesuatu yang jijik ketika dilihat. Aurat secara syara’ berarti sesuatu yang haram untuk dilihat. (Sa’id Al-Hadhrami: 262) Secara konsep, dalam kitab-kitab fikih dikemukakan bahwa menutup aurat menjadi salah satu syarat dalam pelaksanaan salat. Artinya, menutup aurat merupakan salah satu ibadah yang harus diperhatikan oleh setiap umat Islam. Dalam kitab Fathul Qarib misalnya, aurat lelaki (yang wajib ditutupi) ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut. Sementara aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan tangan. (Muhammad ibn Qasim: 12)
Tidak hanya ketika melaksanakan ibadah salat, menutup aurat juga diwajibkan di luar pelaksanaan ibadah salat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa aurat secara syara’ ialah sesuatu yang haram untuk dilihat. Artinya, aurat terkait erat dengan pandangan yang juga diatur secara jelas oleh syariat, utamanya pandangan terhadap lawan jenis. Setidaknya ada 7 keadaan pandangan lawan jenis baik kepada mahram (sanak saudara yang tidak boleh ada hubungan pernikahan) maupun kepada non mahram, yang diatur dalam kitab Fathul Qarib dan dijelaskan dalam kitab-kitab penjelasnya. Pertama, pandangan laki-laki kepada perempuan yang bukan mahram. Pandangan tersebut tidak diperbolehkan kecuali ada hajat. Kedua, pandangan antara suami dan istri. Pandangan seperti ini diperbolehkan, bahkan ke seluruh tubuh, meski disertai kemakruhan jika memandang kepada kemaluan. Ketiga, Pandangan kepada mahram. Pandangan tersebut diperbolehkan kecuali pada bagian antara pusar dan lutut dan tidak boleh disertai adanya syahwat. Keempat, pandangan laki-laki kepada perempuan yang akan dinikahi. Pandangan yang diperbolehkan hanya kepada bagian wajah dan telapak tangan, luar dan dalam. Kelima, pandangan untuk kepentingan pengobatan. Pandangan semacam ini boleh dilakukan oleh seorang dokter bahkan ke seluruh tubuh pasien yang perlu untuk diobati, ketika seorang pasien perempuan didampingi oleh suami, mahram atau keluarga perempuannya yang terpercaya. Hal itu juga baru boleh dilakukan jika tidak lagi ditemukan dokter perempuan yang dapat mengobatinya. Keenam, pandangan dalam rangka ada hajat atau kebutuhan semisal perdagangan, pembuktian dan kegiatan muamalah lainnya. Pandangan semacam ini hanya diperbolehkan kepada wajah lawan jenis. Ketujuh, pandangan kepada budak perempuan ketika hendak membelinya. Pandangan semacam ini diperbolehkan sesuai kebutuhan kecuali kepada aurat budak perempuan tersebut. (Muhammad ibn Qasim)
Konsekuensi dari diharamkannya pandangan kepada lawan jenis yang bukan mahram adalah keharusan ditutupnya bagian tubuh yang disebut aurat dari pandangan orang yang haram untuk memandangnya. Lebih-lebih jika melihat perintah untuk menahan pandangan bagi kaum muslim laki-laki maupun perempuan dari hal-hal yang terlarang dan tidak patut dilihat yang terkandung dalam surat An-Nur ayat 31-32.
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Perintah menahan pandangan dalam kedua ayat tersebut jelas dimaksudkan kepada sesuatu yang haram untuk dilihat.(Al-Mawardi) Tidak semua hal di dunia ini haram dilihat oleh mata manusia. Sebaliknya, ada yang halal untuk dilihat dan ada yang haram untuk dilihat. Oleh karenanya perintah dalam ayat ialah untuk menahan pandangan, yang artinya dikhususkan pada sesuatu yang haram untuk dilihat.(Asy’Sya’rawi)
Idealisme Busana Islami
Kewajiban menutup aurat pada akhirnya melahirkan konsekuensi ketentuan berpakaian yang sesuai dengan tuntunan syariat. Ketentuan berpakaian dalam Islam setidaknya dengan dua tujuan, yakni untuk menutup aurat dan untuk menghias diri. Islam menetapkan syariat kewajiban menutup aurat bagi semua umat Islam bahkan bagi mereka yang tinggal sendirian dan jauh dari orang lain. Berbusana merupakan fitrah bagi umat manusia karena manusia memiliki rasa malu saat auratnya terbuka. Berbusana juga merupakan fitrah karena sebagai pembeda antara manusia dan binatang.
Islam menetapkan konsep ideal dalam berbusana antara lain pakaian yang menutup aurat pada badan kecuali yang biasa Nampak, sebagaimana disebutkan dalam ayat "Apa-apa yang biasa tampak" (QS. An-Nur :31). Penafsiran terhadap ayat ini juga beragam. Sahabat Ibnu Mas’ud menafsiri lafal ‘yang nampak’ dengan makna pakaian. Sahabat Ibnu Abbas menafsirinya dengan makna celak dan cincin. Sementara Al-Hasan memaknainya dengan wajah dan kedua telapak tangan. (Al-Mawardi: 353) Mayoritas Ulama mengikuti pendapat terakhir yakni wajah dan kedua telapak tangan. Selain itu, pakaian yang dipakai umat Islam hendaknya tidak terbuat dari bahan yang tipis sehingga memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan syahwat seperti paha, dada dan yang lainnya. Rasulullah mengisyaratkan larangan ini melalui redaksi makna hadis ‘berpakaian tapi telanjang’.
Artinya: “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat; (yaitu) suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti seekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini (jauhnya).” (HR. Muslim)
Ketentuan berpakaian juga harus memperhatikan kepatutan pakaian sesuai dengan jenis kelamin pemakainya. Artinya, laki-laki dan perempuan diharuskan mengenakan pakaiannya masing-masing sesuai dengan ketentuan dan adat kebiasaan yang berlaku bagi masing-masing laki-laki maupun perempuan. Konsekuensinya, Islam melarang perempuan mengenakan pakaian yang hanya khusus diperuntukkan untuk laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Kejelasan ketentuan berkaitan dengan jenis kelamin tidak hanya berlaku pada pakaian, melainkan juga terkait gaya bicara, gerakan, cara berjalan dan lain sebagainya. Artinya, seorang laki-laki harus berbicara, melakukan gerakan, berpakaian dan berjalan layaknya seorang laki-laki. Begitu juga dengan perempuan. Larangan ini terkandung dalam hadis Nabi yang melaknat seorang laki-laki yang menyerupai perempuan, dan seorang perempuan yang menyerupai laki-laki.
Artinya: “Rasulullah saw melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari)
Selain yang telah disebutkan di atas, terdapat juga ketentuan lain berupa larangan khusus bagi laki-laki dan kebolehan bagi perempuan. Seperti memakai busana berbahan sutra dan mengenakan perhiasan dari emas. Pakaian sutra dan perhiasan emas dilarang secara langsung oleh Baginda Nabi melalui hadis Nabi :
Artinya: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla menghalalkan untuk perempuan dari umatku sutra dan emas serta mengharamkannya untuk laki-laki dari umatku” (HR. An-Nasa’i)
Jika pakaian yang dikenakan berbahan campuran antara sutra dengan yang lain, maka diperbolehkan dengan syarat bahan lain mendominasi sedangkan bahan sutra kurang dari 50%. (Muhammad ibn Qasim) Selain itu, umat Islam juga dilarang mengenakan pakaian yang secara khusus dikenakan oleh umat agama lain.
Terkait dengan etika, Islam memberikan ketentuan bahwa dalam berbusana hendaknya tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan perasaan sombong dalam berpakaian. Sahabat Abdullah ibn Umar memberikan kejelasan dalam hal etika pakaian, ketika beliau ditanya oleh seorang laki-laki. Pakaian yang hendaknya dikenakan oleh umat Islam ialah pakaian yang sekiranya tidak dihina oleh orang-orang bodoh dan tidak dicela oleh para pemikir karena melampaui batas. (Al-Qaradhawi: 80)
Implementasi Gerakan Berbusana Islami di UNISSULA
Gerakan busana Islami adalah fenomena yang semakin berkembang di era modern saat ini, di mana prinsip-prinsip agama Islam berpadu dengan tren fashion kontemporer. UNISSULA sebagai universitas Islam dengan akreditasi Unggul tingkat nasional telah lama melaksanakan Gerakan BUDAI sebagai strategi penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kampus. Setiap harinya, bisa dipastikan ribuan orang bermuamalah dalam lingkungan kampus UNISSULA, baik melalui kegiatan belajar mengajar, perdagangan maupun kegiatan yang bersifat administrasi lainnya. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa kegiatan muamalah seperti perdagangan dan belajar mengajar merupakan salah satu kegiatan yang dapat dimaklumi terjadi interaksi antara lawan jenis yang bukan mahram, utamanya dalam bentuk pandangan. Artinya, tidak berdosa seorang laki-laki memandang seorang perempuan jika ternyata memang ada aktifitas muamalah di antara keduanya. Terpenting dari semua itu adalah, antara civitas akademika yang ada di UNISSULA dapat menjaga diri dan kehormatannya dari fitnah yang mungkin ditimbulkan akibat hubungan muamalah.
Melalui gerakan BUDAI, selama kurang lebih 20 tahun UNISSULA mengimplementasikan Gerakan Berbusana Islami bagi seluruh civitas akademika UNISSULA dalam rangka menjaga kehormatan mereka dari fitnah yang berpotensi ditimbulkan oleh hubungan antar lawan jenis. UNISSULA secara aktif melalui Lembaga Kajian dan Penerapan nilai-nilai Islam (LKPI) terus melaksanakan monitoring, evaluasi dan perbaikan terhadap implementasi Gerakan Berbusana Islami secara berkelanjutan. Selebaran dan pengumuman terkait gerakan berbusana Islami juga secara masif disebarkan di tempat-tempat strategis di lingkungan kampus UNISSULA. Tentunya semua memiliki tujuan yang sama yakni terjalinnya kegiatan muamalah yang kondusif di lingkungan kampus UNISSULA dan keterjagaan pandangan dari sesuatu yang haram untuk dilihat.
Demikian, Allahu a’lam.